Hui Ying & Li Hua

 


Li Hua menarik nafas dalam-dalam hingga dadanya terasa penuh oleh udara. Udara pagi selalu saja membuatnya bersemangat memulai hari. Li Hua memakai celemeknya, dia siap dengan bahan-bahan pembuat bakpao.

“Selamat pagi, meimei,” sapa Hui Ying. “Selamat pagi, cici,” balas Li Hua sambil tersenyum manis seperti biasa. Li Hua dan Hui Ying adalah kakak beradik yatim piatu yang harus menghidupi diri mereka sendiri. Beruntung Hui Ying pandai memasak, sehingga dia mengajak adiknya Li Hua untuk berjualan bakpao, makanan yang paling disukai di Cina.

“Hari ini bahan apa yang bisa kita kerjakan?” tanya Hui Ying pada adiknya. Li Hua memeriksa bahan-bahan yang ada. “Kita punya kacang hijau, kacang tanah, dan daging sapi,” jawab Li Hua cekatan. “Baiklah, mari kita bekerja. Semoga jualan kita hari ini laris manis,” kata Hui Ying memberi semangat. Li Hua mengangguk. Mereka berdua pun sibuk membuat adonan bakpao dengan tiga pilihan rasa.

Jam 7 pagi, seperti biasa Li Hua membuka toko kecil mereka. Dia dengan cekatan membersihkan lantai toko dan juga meja yang akan mereka pakai untuk menjajakan bakpao. Hui Ying membawa kotak-kotak berisi bakpao panas yang akan dijual mereka hari itu. “Kita punya 50 bakpao kacang hijau, 50 bakpao kacang tanah, dan 30 bakpao daging. Semoga semuanya bisa habis hari ini. Setelah toko tutup, kita pergi berbelanja ya,” kata Hui Ying pada adiknya. Li Hua mengangguk.

Tak berapa lama, langganan mereka berdatangan dan mereka berdua sangat sibuk melayani para pembeli. Hanya dalam waktu 2 jam semua bakpao mereka habis tidak bersisa. Li Hua senang sekali, dia melompat-lompat sambil membawa uang kertas yang bagi mereka itu lumayan banyak. “Ingat meimei, itu bukan uang kita semua. Kita harus memisahkan uang untuk belanja dan sisanya baru bisa kita belikan beras, sayuran, dan lauk untuk makan sehari-hari. “Iya ci,” jawab Li Hua. Mereka menutup toko dan bersiap pergi berbelanja.

Sebuah sepeda listrik pemberian kakek Bao selalu menemani mereka berbelanja. Kakak beradik itu pergi dengan perasaan senang. “Ci, akhir-akhir ini jualan kita selalu habis ya,” kata Li Hua pada cicinya. “Iya, kita harus bersyukur. Bagaimanapun kita harus bekerja keras karena kita berdua tidak punya siapapun untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita,” kata Hui Ying dalam perjalanan mereka saat itu. “Keluarga shushu Xiao Long?” tanya Li Hua. “Mereka pastinya punya kebutuhan mereka sendiri. Anak-anak mereka pasti membutuhkan biaya yang banyak sekali. Sebaiknya kita belajar mandiri sehingga kita tidak merasa terbebani dengan balas budi,” nasehat Hui Ying. Li Hua mengangguk mengerti.

Sesampai di pasar, mereka segera membeli bahan-bahan untuk membuat bakpao. Tanpa sengaja, Li Hua melihat seorang pengemis duduk di depan sebuah toko. Dia merasa iba. “Ci, lihat pengemis itu. Bolehkah aku memberinya sedikit uang?” tanyanya. Hui Ying mengangguk, dia menunjuk sebuah toko kue di dekat mereka  lalu memberi Li Hua sedikit uang. Li Hua mengerti, cicinya itu memintanya membeli sedikit kue untuk diberikan pada pengemis itu. Dia pun segera pergi.

Saat dalam perjalanan pulang, Hui Ying berkata, “Kamu lihat pengemis tadi. Aku rasa kehidupan kita lebih baik darinya. Kita bisa memperoleh uang dari hasil berjualan, sedangkan dia mencukupi hidupnya dari belas kasihan orang lain.” Li Hua berpikir sebentar, “Iya ci, aku rasa juga begitu. Kita bersyukur bisa menjual bakpao setiap hari untuk mencukupi kebutuhan kita, bukan hasil meminta belas kasihan orang lain. Benarkah jika aku berpikir kita mempermalukan diri kita jika kita hanya meminta belas kasihan?” tanya Li Hua lagi. Cicinya mengangguk. “Kita harus semangat berjualan ya!” katanya memberi semangat. “Jia you!!!” seru Li Hua semangat. Keduanya pun tertawa.

Komentar